Jumat, 08 Januari 2016

PELANTIKAN UPU LATU NEGERI TIHULALE AMALESSY


Oleh : Hany Tuarissa

Pelantikan Upu Latu ( Raja Adat) di Daerah Maluku terkhusus di Negeri Tihulale Amalessy saat ini memperoleh legitimasi bukan saja berasal dari lembaga adat yang di sebut sebagai Saniri Negeri tetapi juga memiliki legitimasi dari Pemerintah Indonesia mulai level mulai dari level Kecamatan sampai Kabupaten dengan di berlakukannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. Dalam pelaksanaannya tetap masih mengikuti 2 tata cara sesuai dengan adat dan pemerintahan,  dalam hal ini kepala pemerintahan di pegang langsung oleh Upu Latu yang di pilih dan diangkat berdasarkan garis keturunan mata rumah tertentu sebagai mata rumah raja adat, sesuai dengan apa yang di lakoni sejak ratusan tahun silam yang sebelumnya sempat di matikan oleh pemerintah pusat lewat Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa.
Mungkin terlihat sepintas dengan adanya penetapan kepala pemerintahan berdasarkan adat negeri ini maka sudahlah pasti mematikan sistim demokrasi yang sementara tumbuh subur Negara kesatuan repoblik Indonesia, dimana setiap anak Negeri (Desa) yang sebenarnya memiliki potensi dan hak yang sama dalam demokrasi sesuai undang-undang untuk menjadi kepala pemerintahan dan membangun negerinya justru terhalangi karena latar belakangnya yang berasal dari mata ruma yang secara adat tidak memiliki hak sebagai Upu Latu (Raja Adat, bukan tidak mungkin biasa saja ada pendapat bahwa adat menghalangi dan membunuh potensi anak negeri sendiri.
Persoalan di atas menjadi justru mendapat dukungan dari Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa  yang memungkinkan dan memberikan peluang serta kesempatan dalam Demokrasi sehingga Kepala Desa dapat dipilih dari kalangan mana saja asal memenuhi  syarat-syarat administrasi yang telah di tetapkan pemerintah. Bahkan bukan mustahil seorang yang bukan anak negeri pun bisa memiliki kesempatan untuk menadi kepala Desa di negeri tersebut asalkan memiliki dukungan yang banyak. Ketika hal ini di berlakukan secara administrasi ya demokrasi mengalami peralanan yang sangat dinamis, semua orang dalam sebua Negeri (Desa) memiliki peluang yang sama untuk mejadi kepala Desa, dan adat menadi institusi pendamping bukan lagi menjadi sandaran utama dalam kerangka budaya atau kearifan local yang sarat dengan nilai historis dan harmonis. Akibatnya banyak budaya dan peristiwa-peristiwa adat mengalami kemunduran bahkan tragis tidak di pungsikan lagi atau dengan kata lain mati suri. Contohnya adalah Sasi Adat, Pungsi Lembaga adat seperti Kewang, Marinyo dan sejenis yang memiliki landasan adat tidak di jalankan lagi, karena pemimpin Desa sudah tidak lagi memiliki keinginan mempertahankannya.  Akhirnya masyarakat adat ustru mencari jalan pintas dengan memakai lembaga gereja dalam penerapannya, misalnya sasi yang tadinya sasi adat di ubah mejadi sasi gereja.
    
Di Negeri Tihulale sendiri dalam perkembangannya dari tahun ke tahun  tetap mempertahankan pelaksanaan Pemerintahan Negeri di pimpin langsung oleh Upu Latu (Raja Adat) yang di pilih dan di angkat berdasarkan garis keturunan mataruma yang memiliki hak tersebut, meski pun untuk pungsi lembaga lembaga adat sendiri ada beberapa yang sempat mati suri karena berlakunya Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa. Dan sejara historis Negeri Tihulale mengangkat Raja secara adat terakhir  pada tgl 08 Juni 2013 untuk periode 2013 sampai dengan 2018 atas nama Upu Latu Elias Salawane menggantikan Upu Latu sebelumnya. Kalaupun dalam mata rumah tersebut tidak memiliki kandidat maka dari mata rumah tersebut akan memberikan rekomendasi (penunjukan) pada sosok yang telah di tentukan dan di rasa mampu memimpin, apabilah hanya terdapat satu kandidat atau tunggal maka tidak akan terjadi proses demokrasi atau pemilihan.  Pemilihan akan berlangsung apabila ada dua kandidat yang di rekomendasikan dari mata rumah yang berhak tersebut. Pungsi lembaga lembaga adat sendiri yang sempat mati suri karena berlakunya Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa mulai kembali di hidupkan.


Berikut  Vidio Ringkasan Prosesi Adat Pelantikan Raja Negeri Tihulale Amalessy, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Periode 2013-2018, tanggal 08 Juni 2013




Rabu, 06 Januari 2016

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.