1.
PENGERTIAN AGAMA
Pengertian Agama sebagaimana dituliskan di
dalam Ensiklopedi Masa Kini (New Bibble Dictionary, Press 1990), yang di dalam
bahasa Yunani di sebut Triskia, berarti
ungkapan lahiriah dari kepercayaan. Kemudian di dalam Ensiklopedi Indonesia (Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta
1980) di sebut :
a. Agama menurut
pengertian gooddiest atau religie (Belanda) arau religion (Inggris) pada
umumnya berarti : Hubungan anntara manusia dan suatu kekuatan luar yang lain
yang lebih dari pada apa yang dialami manusia.
b. Istilah untuk menyebutkan kelompok kepercayaan
berdasarkan wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci yang di
yakininya.
c. Kebiasaan-kebiasaan
, tradisi, berdasarkan Kitab Suci. Himpunan peraturan keagamaan yang
dipergunakan sebagai pedoman hidup dalam masyarat, berguna untuk peningkatan
kerohanian dan mencapai kesempurnaan.
d. Kepercayaan dan kesadaran manusia akan adanya
Tuhan Yang Maha Esa serta Kekuasaanya melebihi dari segala yang ada.
Secara umum dilihat dari sumber agama
ada dua katagori yaitu agama Samawi, yakni agama yang di wahyukan dan agama
wadi yaitu agama sebagi hasil pemikiran manusia.
Yang di maksud
dengan agama Samawi ialah :
1. Agama Yahudi
2. Agama Kristen
3. Agama Islam
Ciri-ciri
Agama Samawi
1. Konsep ke Tuhanannya berdasarkan monotheisme.
2. Disampaikan oleh utusan Tuhan (Nabi maupun
Rasul)
3. Mempunyai kitab suci yang di bawa oleh para
utusan tersebut.
4. Tidak berubah dengan perubahan penganutnya.
5. Kebenaran ajaran dasarnya tahan terhadap
kritik akal.
6. Sistem merasa dan berpikir nya tidak sama
dengan sistem berpikir masyarakat pengikutnya.
2.
PENGERTIAN BUDAYA
Menurut
definisi dari Sir Edward B Taylor
((abab 19) cultur=kultuur=budi dan daya, budaya adalah kompleks yang terbentuk
di dalam sejarah dan terus menerus dari angkatan ke angkatan melalui tradisi
yang mencakup organisasi sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum,
seni, dan ilmu. Jadi kebudayaan mencakup rohani, maupun maddi (material), baik
potensi-potensi maupun keterampilan Di dalam percakapan sehari-hari kebudayaan
kerap kali di batasi dengan pengertian seni dan ilmu. Di dalam arti ini orang
berbudaya artinya adalah orang yang berilmu dan mencintai seni.
Sementara
dalam Ensiklopedia Bebas Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia. Jadi Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat
rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu
mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
"individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam"
di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.Citra budaya yang bersifat memaksa
tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang
layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan
suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
3.
PENGERTIAN ADAT
Perkataan
“ Adat “ ( Bahasa Arab “ ADA “dan
istilah “ URF ” berasal dari bahasa Arab kemudian masuk ke dalam bahasa
Indonesia, berarti sesuatu yang dianggap baik sehingga dipelihara, diteruskan
dan dilakukan secara berulang – ulang. Dalam bahasa negeri Tihulale dikenal
istilah “ ADATE “.
Adat disebut pula “ URF “ yang berarti sesuatu
yang dikenal, diketahui dan diulang – ulangi serta menjadi kebiasaan dalam
masyarakat, berupa kata- kata atau macam – macam bentuk perbuatan.
Unsur pembentukan adalah pembiasaan dalam kehidupan
manusia, terus menerus dan menjadi kelaziman yang diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala. Adat yang melembaga berisi norma atau nilai perbuatan yang harus
dilakukan dan meninggalkannya dapat dihukum oleh masyarakat sesuai dengan
sanksi yang berlaku, dicemooh, menganggap sepi atau pengucilan terhadap yang
meninggalkannya atau bahkan diusir dari negeri.
a.
Mode , adalah adat yang berisi kebiasaan yang
baru atau sementara / kekuasaan yang
sementara.
b. Tradis, adalah adat yang melembaga dan
berjalan lama sekali serta turun temurun.
c. Upacara ( Ritus atau Ritual ) adalah adat yang dipakai dalam
merayakan hal – hal resmi atau pemujaan.
d. Etiket adalah tata cara dalam masyarakat yaitu
sopan santun dalam memelihara yang hubungan baik antara sesama manusia.
e. Hukum adalah perkembangan secara tertulis dari
segalah macam adat dan norma yang harus di taati oleh semua anggota masyarakat,
yang penyelewengannya dapat di hukum dengan hukuman penjara, pembayaran denda
bahkan hukuman mati.
f. Folks-Ways adalah adat basa-basi yang umumnya dijalankan
dalam masyarakat Barat sehari-hari, karena dianggap baik dan menyenangkan
seperti datang melawat bilamana ada kenalan yang meninggal dan sebagainya.
Meninggalkannya tidak akan di hukum atau di cela, tetapi dianggap lebih baik
bila dijalankan.
J.W. AJAWAILA (Universitas Pattimura) Mengatakan beberapa penulis
mengemukakan bahwa adat adalah semua pemikiran yang teguh (strong ideas),
tentang benar dan salah yang menuntut tindakan dan melarang yang lain. Adat
adalah kepercayaan terhadap kebenaran dan kesalahan dari tindakan‑tindakan
kelompok masyarakat (Mintargo : 2000). Adat juga diartikan sebagai sebuah
sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya ini merupakan pedoman yang memberikan
arah dan orientasi terhadap hidup dari suatu kelompok masyarakat dan mengatur
perilaku anggota kelompok masyarakat tersebut (Kuntjaraningrat: 2002). Sering
adat juga diartikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut sejak dahulu
kala sebagai suatu kebiasaan perilaku sehingga ia merupakan wujud nilai-nilai
budaya, norma hukum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan
menjadi suatu sistem yang dijadikan acuan bagi tata kehidupan sebuah komunitas
(Kawi 2003). Dengan demikian adat terdiri dari berbagai norma dan aturan yang
dipatuhi oleh sebuah kelompok komunitas atau masyarakat. Masyarakat adat atau
komunitas adat adalah kelompok masyarakat pendukung adat-istiadat yang berlaku
di dalam suatu kelompok masyarakat itu. Penulis lainnya mengatakan bahwa
masyarakat adat adalah sebuah unit sosial dimana setiap individu menerima
otoritas unit sosial tersebut serta tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku.
Karena aturan-aturan tersebut terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yaitu
praktek-praktek hidup yang dilakukan berulang-ulang maka masyarakat lebih akrab
dengannya.
Masing-masing suku bangsa atau sub suku bangsa memiliki sistem nilai budaya yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mengatur tatanan masyarakat adat, pada masing-masing masyarakat terdapat lembaga-lembaga dan pranata-pranata yang mengatur dan mengendalikan perilaku anggota masyarakat atau komunitas adat. Kedua hal ini (lembaga dan pranata) acapkali tumpang tindih pengertiannya. Lembaga atau institusi kadang-kadang diartikan pula sebagai pranata. Lembaga dalam tulisan ini diartikan sebagai sebuah organisasi yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam masyarakat adat misalnya terdapat lembaga atau dewan adat yang terdiri dari para tetua atau ahli adat yang berfungsi untuk menjelaskan berbagai hal tentang adat dan memutuskan atau menyelesaikan sengketa adat. Hal ini penting karena banyak sekali norma dan aturan adat yang tidak lagi diketahui oleh anggota masyarakat. Selain itu, terdapat pula peradilan adat yang berfunggi memutuskan berbagai perkara mengenai pelanggaran adat. Pranata adat yang disebut pula sebagai "lembaga" adat atau institusi adat diartikan sebagai sistem antar-hubungan, norma-norma, aturan-aturan, dan peranan-peranan dari para pelaku yang menyajikan seperangkat pedoman-pedoman, wadah-wadah untuk bertindak sesuai corak pranata adat tersebut dan sesuai kebutuhan yang dipenuhi oleh masyarakat yang bersangkutan. Di dalam paranata sosial (adat) tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang berfungsi memberikan arahan yang baik atau tidak baik, yang beradab atau tidak beradab dan sebagainya (Suparlan : 1997). Olen karena itu fungsinya merupakan mekanisme kontrol bagi tindakan anggota masyarakat. Pada masyarakat adat di Maluku terdapat berbagai lembaga dan pranata yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat adat antara lain:
· Pranata adat yang mengatur hubungan kekerabatan
· Pranata adat yang mengatur hubungan kejasama dan tolong menolong
· Pranata adat yang mengatur pemeliharaan lingkungan
· Pranata adat yang mengatur kepemilikan tanah
· Pranata adat yang mengatur pemerintahan
· Dan lain-lain.
Masing-masing suku bangsa atau sub suku bangsa memiliki sistem nilai budaya yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mengatur tatanan masyarakat adat, pada masing-masing masyarakat terdapat lembaga-lembaga dan pranata-pranata yang mengatur dan mengendalikan perilaku anggota masyarakat atau komunitas adat. Kedua hal ini (lembaga dan pranata) acapkali tumpang tindih pengertiannya. Lembaga atau institusi kadang-kadang diartikan pula sebagai pranata. Lembaga dalam tulisan ini diartikan sebagai sebuah organisasi yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam masyarakat adat misalnya terdapat lembaga atau dewan adat yang terdiri dari para tetua atau ahli adat yang berfungsi untuk menjelaskan berbagai hal tentang adat dan memutuskan atau menyelesaikan sengketa adat. Hal ini penting karena banyak sekali norma dan aturan adat yang tidak lagi diketahui oleh anggota masyarakat. Selain itu, terdapat pula peradilan adat yang berfunggi memutuskan berbagai perkara mengenai pelanggaran adat. Pranata adat yang disebut pula sebagai "lembaga" adat atau institusi adat diartikan sebagai sistem antar-hubungan, norma-norma, aturan-aturan, dan peranan-peranan dari para pelaku yang menyajikan seperangkat pedoman-pedoman, wadah-wadah untuk bertindak sesuai corak pranata adat tersebut dan sesuai kebutuhan yang dipenuhi oleh masyarakat yang bersangkutan. Di dalam paranata sosial (adat) tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang berfungsi memberikan arahan yang baik atau tidak baik, yang beradab atau tidak beradab dan sebagainya (Suparlan : 1997). Olen karena itu fungsinya merupakan mekanisme kontrol bagi tindakan anggota masyarakat. Pada masyarakat adat di Maluku terdapat berbagai lembaga dan pranata yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat adat antara lain:
· Pranata adat yang mengatur hubungan kekerabatan
· Pranata adat yang mengatur hubungan kejasama dan tolong menolong
· Pranata adat yang mengatur pemeliharaan lingkungan
· Pranata adat yang mengatur kepemilikan tanah
· Pranata adat yang mengatur pemerintahan
· Dan lain-lain.
4.
AGAMA NEGERI TIHULALE
Yang
dimaksud dengan Agama Negeri Tihulale di
sini penulis maksudkan adalah agama Nenek Moyang (orang tua-tua dolo-dolo) di
abad 16 sebelum datangnya penginjilan dan Kekristenan ke Negeri Tihulale. Sebelum para pedagang Potugis dan Penjajah
Belanda masuk ke bumi Maluku Nenek Moyang Negeri Tihulale Amalessy telah
memiliki agama sendiri di saat itu yang di sebut dengan nama KAKEHANG
dengan tokoh pemimpinnya di sebut MAUWENG sebagi pemuka agama Kakehang
ini Mauweng sangatlah di hormati dan di segani bahkan segalah pertimbangan Raja
harus meminta dulu nasehat dari Mauweng. Dalam kepercayaan ini mereka percaya
kepada Upuru loterumi, dan roh-roh nenek
moyang.
1. Upuru
Loterumi, adalah sesembahan yang di yakini tuhan alam semesta (Tuhan
Yang Maha Esa) yang memberikan Lematai adalah Matahari yang memberi cahaya dan
menerangi, Huran, adalah Bulan yang
menerangi pada waktu malam , Ume, adalah
Bumi yang di dalamnya terdapat Tanah dan Air yang memberikan makan bagi mereka.
2.
Roh-roh
Nenek Moyang, adalah roh-roh yang di percaya dari roh keluarga yang telah lama
tiada namun masih terus menjaga dan melindungi, biasa di sebut
Tete-Nene-Moyang, sampai saat inipun kepercayaan itu masih tetap berakar di
dalam masyarakat Negeri Tihulale bahkan adalah istilah yang mendarah daging :
nomor 1 Tuhan, Nomor 2 Tete Nene Moyang.
Kepercayaan kepada
sembahan-sembahan dan roh-roh nenek moyang inilah yang membuat mereka takut
melakukan hal-hal yang diyakini dapat membuat murka para sesembahan dan para
roh nenek moyang marah dan berakibat negeri mendapat malapetaka baik sakit
penyakit maupun kematian. Sebagi tanda hormat dan terima kasih mereka pada
sesambahan yang di yakini, mereka biasanya melakukan ritual-ritual untuk
menyenangkan yang di yakininya sebagai tuhan. Altar-altar penyembahan biasanya
terbuat dari batu bertungku tiga ataupun empat dengan satu batur datar
berukuran besar sebagai mejanya. Saat ini di sebut dengan dolmen. Bukti dari
adanya agama Kakehang ini masih ada di negeri Tihulale dan masih berpengaru
juga dalam kehidupan masyarakat di Negeri Tihulale sampai saat ini. Jadi sebelum
datangnya Portugis dan Belanda, Masyarakat Negeri Tihulale telah percaya kepada Tuhan Yang Maka Esa,
dengan keyakinan bahwa Matahari, Bulan dan Bumi adalah pemberian Tuhan Yang
Maha Esa yang harus di hormati. Begitupun mereka percaya akan alam lain dengan
adanya roh-roh nenek-moyang yang memiliki kehidupan sendiri, menjaga dan melindungi
mereka bahkan dapat memberikan malapetaka. Mereka percaya akan adanya kelahiran
dan kematian, hidup dan mati dengan istilah Heka-Leka. Dimana suatu saat
manusia akan mati dan ada kehidupan yang baru melalui kelahiran.
Dolmen sebagai bukti keberadaan agama Kakehang
Tahun 1511 portugis masuk ketanah Maluku dengan Tujuan ekspansi meliputi tiga hal: "GOD, GOLD, GLORY"
1. God" artinya mereka pergi ke luar ingin
membawa dan menyiarkan agama Katolik kepada daerah yang didudukinya atau tempat
di mana mereka berpijak. Paus mendorong raja untuk meluaskan kerajaan dengan
janji bahwa di mana daerah diduduki, maka itu menjadi hak mereka. Dengan
demikian raja mengutus dan membiayai misi Katolik. Ini disebut dengan sistem
"padroado" yaitu raja adalah tuan dan pelindung gereja.
2. Gold" artinya mereka pergi ke luar
mencari kekayaan dengan berdagang yaitu alasan ekonomi
3. Glory" adalah kemuliaan bangsa
Portugis dan kerajaannya dari segi politis dengan melemahkan kekuatan Turki dan
bangsa-bangsa yang pernah menjajahnya.
Adalah Fransiskus
Xaverius (1506), seorang Spanyol yang menjadi murid pertama Ignatius de Loyola.
Datang ke Asia karena mengganti teman yang sakit tahun 1542, pertama kali
merintis penginjilan di saparua sampai ke seram sekitar tahun 1546-47. Namun
pelayanan ini kurang berhasil di Negeri Tihulale disebabkan yang di utus ke
Negeri Tihulale saat itu adalah jurubahasa yang memang tidak dapat di terima
oleh Raja dan Masyarakat Negeri Tihulale saat itu. Pengaru Mauweng dengan
keyakinan terhadap agama Kakehang yang sudah ada lebih kuat dan di rasa masih
lebih baik dari ajaran yang di bawakan oleh jurubahasa tersebut. Kemampuan Mauweng yang dapat berkuminukasih
dengan roh-roh nenek-moyang dan mengusir balah pada saat itu dan kehidupan masyarakat
yang masih takut akan roh-roh nenek-moyang membuat misi Fransiskus Xaverius
dengan jurubahasanya di Negeri Tihulale tidak berhasil. Cerita-cerita ajaib
yang melegendakan Fransiskus Xaverius seperti doa minta hujan di Saparua, salib
yang hilang ditemukan dan dikembalikan oleh kepiting besar (Van den End, 51)
pun tidak dapat mempengaruhi masyarakat Negeri Tihulale saat itu untuk menerima ajaran yang di bawakan oleh jurubahasa yang
di utus Fransiskus Xaverius. Sampai pada
Tahun 1570 di sertai dengan kekuasaan Portugis berakhir, mempengaruhi pekerjaan misi Katolik pulau seram dan masyarakat Negeri Tihulale masih tetap hidup dan keyakinannya terhadap
agama Kakehang yang di yakininya.
Sampai
pada tahun 1605 VOC (organisasi dagang Belanda) Masuk ke Tanah Maluku ditandai
dengan berhasil merebut benteng Portugis
yang ada di Ambon dan Banda. Darisinilah awal mula masyarakat Negeri Tihulale beralih dari keyakinannya yang lama ke
keyakinannya yang baru. Misi VOC adalah perdagangan dan mereka menggantikan
Portugis dalam menguasai perdagangan rempah-rempah. Belanda memakai kekuatan
militer dalam menguasai perdagangan rempah-rempah sehingga mengalahkan Banda,
Hitu, Seram Barat. Pusat produksi rempah-rempah dipusatkan di Ambon-Lease, dan
Banda. Sedangkan di daerah lain dihancurkan oleh VOC (sistem hongi yaitu
penghancuran pohon oleh VOC). VOC juga meminta penduduk yang beragama Katolik
pindah ke agama Protestan. Jadi penduduk yang beragama Katolik pada zaman
Portugis menjadi Protestan pada zaman Belanda. Prinsipnya "yang mempunyai
negara, menentukan agama". VOC belum memiliki tenaga pendeta/misi yang
melayani orang Kristen di sana, tetapi VOC menggunakan "penghibur orang
sakit." Untuk menjalankan misi dan pelayanannya. Kekurangan pengatahuan
Mauweng tentang ilmu pengobatan dan penyakit mengakibatkan pengaruh Penghibur
Orang Sakit sangatlah besar terhadap perubahan dan pengalihan keyakinan ini.
Angka kematian yang di sebabkan oleh penyakin yang dapat di sembuhkan bisa di
perkecil. Masyarakat Negeri Tihulalepun mulai menerima dengan alasan
mendatangkan kebaikan bagi mereka. Tahun
1607 kapal-kapal Belanda membawa mantri kesehatan kesaparua dan di distibusikan
ke pulau seram yang kemudian membuka sekolah dengan pengajaran agama dan
pelajaran membaca dan berhitung.
Kehidupan rohani di Negeri Tihulale saat itu tidak terlalu mendapat perhatian dan hanya dilayani oleh guru-guru jemaat sekaligus berperan sebagi guru sekolah namun masyarakat mulai menerimanya tetapi tetap percaya pada agama dan keyakinan yang lama.
Kekalahan Portugis kepada Belanda dengan direbutnya benteng Nossa Sendhora da Anunciada dan diganti dengan nama dgn Victoria tgl 23 pebruari 1605.Dan tgl 27 pebruari 1605 diadakan ibadah kristen protestan pertama di benteng.Misi Cius rgio eivs religio di jalankan agama raja agama rakyat.Misi pengkristenan terhadap negeri negeri yg beragama suku dilakukan terutama ke pulau Seram.Dan pada tanggal 11 juli 1696 pendeta D.de Mei datang ke negeri Tihulale untuk membabtis mereka.Setelah dibabtis di berikan seoran guru jamaat tuan ANDRIES CASTANJA untuk berhotba dan mengajar anak anak sekolah. Inti pelajaran yg didapat adalah 1.Berdoa sebelum masuk dan plng sekolah serta bernyanyi.2.Menghafal doa bapa kami dan pengakuan iman. 3.Membaca dan menulis. Menurut laporan dari pendeta Francois Valentyn nov 1708 sampai pebruari 1709 keadaan jamaat dan pendidikan di jamaat Tihulale sbb: Guru jamaat Andries Castanja.Pembantu 7 orang.Angota dewasa 79 orang.Yg bersekolah 38 orang.Diluar sekolah 28 orang.Jumlah seluruhnya 153 orang dalam jamaat .Yg diluar sekolah itu mereka telah selesai dan dinilai mampu dlm pendidikan.bahasa yg dipakai adalah bahasa melayu ambon. Dalam buku Joseph Kam rasul Maluku yg datan ke maluku 15 maret 1815 belia juga menulis tentang jamaat Tihulalae .Rumahkai dam Kamarian adalah jamaat tertua di Seram Barat.
Meski di tahun 1612 datang
pendeta pertama tiba di Ambon, dan sejak itu terus didatangkan pendeta-pendeta
untuk Ambon. {Namun mulai tahun-tahun 1790-an sampai sekitar tahun 1820, Ambon dan kepulauwan di Maluku berada dalam keadaan yang tidak menentu, Dua kali orang-orang Inggreris menggantikan orang-orang Belanda sebagai penguasa (1796-1802, 1810-1817). Mereka meringankan beban yang harus di tanggung penduduk akibat sisitim VOC. Ketika orang-orang Belanda kembali (1817), mereka langsung mulai lagi membebankan bermacam-macam kewajiban kepada rakyat, dan hal itu turut menyebabkan pemberontakan yang hebat di Saparua. Tahun-tahun 1820-an merupakan periode yang tenang, tetapi mulai dari 1835 pulau-pulau Maluku Tengah digoncangkan oleh gempa bumi dan wabah. Dalam pada itu kehidupan orang-orang Maluku tetap berjalan menurut corak yang sudah berlaku selama masa VOC. Mereka tidak mengembangkan kegiatan ekonomi sendiri selain untuk memperoleh keperluan hidup yang paling terutama. Pulau-pulau Maluku miskin, dan banyak orang yang merantau menjadi pegawai atau prajurit untuk pemerintah Belanda. Di bidang politis, orang-orang Maluku tetap berada di bawah perwalian orang-orang Belanda. Segala sesuatu diatur dari atas, dan mereka terpaksa menerima saja apa yang diputuskan mengenai mereka.(End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 158 – 168.)}. Negeri Tihulale tidak di layani oleh pendeta-pendeta
tersebut bahkan di tahun 1815 telah ada Josep Kam juga. Baru pada tahun 1900-1935 Negeri Tihulale
mendapatkan layanan pendeta dan sekaligus membangun Gedung Gereja yang di
namakan BETH-EDEN pada tgl 7 Juni 1935 dan diresmikan pada tgl 15 September
1935 sebagi tanda masyarakat Negeri
Tihulale seluruhnya telah menerima agama Kristen
Protestan dan berpengaru besar pada tatacara kehidupan, budaya dan adat
istiadat di Negeri Tihulale . { Pendeta-pendeta pada zaman VOC telah memberantas unsur-unsur agama kakehang (agama suku) ini, dan kalau kedapatan, orang menerima hukuman berat, sampai diancam hukuman mati. Anehnya, pendeta-pendeta itu kurang menyadari pengaruh berfikir agama kakehang (agama suku) yang tidak langsung itu dalam perwujudan agama Kristen seperti yang terdapat di Maluku (atau di Belanda sendiri). Akibatnya, usaha-usaha ini tidak berhasil mencabut apa yang mereka sebut kekafiran di tengah jemaat-jemaat http://sinodegpm.org/?p=984}.
Kehidupan rohani di Negeri Tihulale saat itu tidak terlalu mendapat perhatian dan hanya dilayani oleh guru-guru jemaat sekaligus berperan sebagi guru sekolah namun masyarakat mulai menerimanya tetapi tetap percaya pada agama dan keyakinan yang lama.
Kekalahan Portugis kepada Belanda dengan direbutnya benteng Nossa Sendhora da Anunciada dan diganti dengan nama dgn Victoria tgl 23 pebruari 1605.Dan tgl 27 pebruari 1605 diadakan ibadah kristen protestan pertama di benteng.Misi Cius rgio eivs religio di jalankan agama raja agama rakyat.Misi pengkristenan terhadap negeri negeri yg beragama suku dilakukan terutama ke pulau Seram.Dan pada tanggal 11 juli 1696 pendeta D.de Mei datang ke negeri Tihulale untuk membabtis mereka.Setelah dibabtis di berikan seoran guru jamaat tuan ANDRIES CASTANJA untuk berhotba dan mengajar anak anak sekolah. Inti pelajaran yg didapat adalah 1.Berdoa sebelum masuk dan plng sekolah serta bernyanyi.2.Menghafal doa bapa kami dan pengakuan iman. 3.Membaca dan menulis. Menurut laporan dari pendeta Francois Valentyn nov 1708 sampai pebruari 1709 keadaan jamaat dan pendidikan di jamaat Tihulale sbb: Guru jamaat Andries Castanja.Pembantu 7 orang.Angota dewasa 79 orang.Yg bersekolah 38 orang.Diluar sekolah 28 orang.Jumlah seluruhnya 153 orang dalam jamaat .Yg diluar sekolah itu mereka telah selesai dan dinilai mampu dlm pendidikan.bahasa yg dipakai adalah bahasa melayu ambon. Dalam buku Joseph Kam rasul Maluku yg datan ke maluku 15 maret 1815 belia juga menulis tentang jamaat Tihulalae .Rumahkai dam Kamarian adalah jamaat tertua di Seram Barat.
Sumber Bapak Tonny Tuarissa
Gedung Gereja Beth-Eden
5 BUDAYA
NEGERI TIHULALE
Dari
pengertian istilah budaya di butir 2 menurut Sir Edward B Taylor bahwa budaya
adalah keseluruhan kompleks yang
terbentuk di dalam sejarah dan diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui
tradisi yang mencakup organisasi sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan,
hukum, seni dan ilmu. Jadi budaya mempunyai lingkup pengertian yang luas dimana di dalamnya
terdapat agama dan kemudian adat . begitupun dengan Ensiklopedia Bebas mengerti
pengertian yang sama.
Di
masa lampau Masyarakat Negeri Tihulale hidup dalam koloni-koloni dan belum berbentuk
sebuah Negeri. Pola kehidupannya masih
sangat primitif dan bergantung kepada alam dan masih berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Sampai pada abab 16 mereka mulai membentuk koloni besar
dan menetap di daerah-daerah yang dianggap sebagai kekuasannya. Sampai pada
saat pedagang Arab, Portugis dan Belanda Masuk Ketanah Maluku barulah mereka
mengenal Negeri Dan Raja dan budayanyapun di pengaruhi oleh budaya Arab,
Portugis dan Belanda sampai pada bahasanya.
Dalam
kehidupan Masyarakat Negeri Tihulale dikenal benyak sekali kebudayaan namun
penulis hanya mengangkat budaya tutur, budaya masohi, dan makan patita mungkin di lain kesempatan
penulis akang mengangkat budaya yang lain.
1.
Tutur.
Budaya Tutur adalah budaya cerita turun temurun
dari generasi-ke generasi tentang sesuatu peristiwa yang terjadi di masa
lampau. Di masa lalu Masyarakat Negeri Tihulale tidak pandai dalam menulis dan membaca,
sehingga segalah peristiwa yang terjadi masa itu selalu di sampaikan kegenerasi
berikutnya dengan cara menceritakan (tutur). Sehingga terkadang ketika kita
membutuhkan bukti tertulis tentang sebuah cerita sejarah Masyarakan Negeri
Tihulale di masa lampau kita tak akan
perna menemukannya. Budaya tutur ini
tetap masih terpelihara sampai saat ini.
2.
Masohi.
Budaya Masohi adalah budaya gotong royong yang di lakukan untuk kegiatan-kegiatan yang ada didalam masyarakan Negeri Tihulale seperti, membuka lahan baru dan bercocok tanam, memperbaiki rumah, dll. Budaya ini terus terpelihara sampai saat ini dan masyarakat Negeri Tihulale menjadikannya sebagai wadah silaturahmi santara sesama anak negeri.
3. Makan Patita
Makan patita adala budaya makan bersama semua anggota masyarakat dengan menggunakan meja lesa yang terdiri dari daun kelapa dan daung pisang. biasanya budaya ini dilakukan setelah ada kegiatan besar dinegeri, atau keberhasilan panen dan lain sebaginya.
Budaya Masohi adalah budaya gotong royong yang di lakukan untuk kegiatan-kegiatan yang ada didalam masyarakan Negeri Tihulale seperti, membuka lahan baru dan bercocok tanam, memperbaiki rumah, dll. Budaya ini terus terpelihara sampai saat ini dan masyarakat Negeri Tihulale menjadikannya sebagai wadah silaturahmi santara sesama anak negeri.
Masohi Membersikan Lokasi Pembangunan Gedung Gereja
Makan patita adala budaya makan bersama semua anggota masyarakat dengan menggunakan meja lesa yang terdiri dari daun kelapa dan daung pisang. biasanya budaya ini dilakukan setelah ada kegiatan besar dinegeri, atau keberhasilan panen dan lain sebaginya.
Makan Patita
5.
ADAT NEGERI TIHULALE .
Seperti
Negeri-Negeri di Seram dan Maluku Tengah pada umumnya Negeri Tihulale memiliki
adat istiadat yang sama, dan banyak di pengaruhi baik sejak jaman penjajahan sampai pada jaman kemerdekaan saat ini.
Dalam
Materi J.W. AJAWAILA (Universitas
Pattimura) pada
Musyawara besar Laupati Maluku yang di selenggarakan tanggal 29 sampai 31 Oktober 2013 di Ambon. Menyatkan bahwa : Dalam perjalanan sejarah Negara kita,
terdapat banyak sekali kebijakan pemerintah yang mengurangi peran lembaga dan
pranata adat sebagai pengendali kehidupan masyarakat. Para pendukung masyarakat
adat percaya bahwa produk leluhur yang selama ini digunakan dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka dan menjaga serta memelihara ketentraman anggotanya.
Masyarakat adat juga percaya bahwa sumberdaya agraria, misalnya tanah, hutan
dan wilayah pesisir serta wilayah laut yang terbatas yang selama ini dimiliki
merupakan asset masyarakat adat yang sangat berharga secara ekonomis bagi
kesejahteraan anggota masyarakat/komunitas. Dalam kondisi seperti ini akan
timbul pertanyaan: Bagaimana eksistensi masyarakat adat dengan berbagai pranata
lokal tradisionalnya yang dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
ketika berhadapan dengan Negara sebagai sebuah realitas dengan kekuasaan yang
sangat besar dan dominan. Sejauh mana lembaga-lemboga dan pranata-pranata adat
dapat menyesuaikan diri dengan pranata-pranata nasional milik Negara.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat adat, kebijakan-kebijakan negara yang sangat memukut kehidupan masyarakat adat adalah penyeragaman sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman ini dengan sendirinya telah mengaburkan identitas komunitas/masyarakat adat termasuk di Negeri Tihulale sendiri. Struktur pemerintahan desa yang diintroduksi melalui penyeragaman sesuai dengan undang-undang tidak lagi memperlihatkan sebuah wajah pemerintahan adat yang oleh masyarakat adat dianggap paling tepat untuk menata masyarakat adat. Lembaga-lembaga asing dalam kacamata masyarakat adat di pedesaan, seperti, dusun, RT/RW dan lainnya harus dibentuk tanpa tawar menawar. Pada beberapa daerah tertentu posisi masyarakat adat dapat diwakili oleh sekelompok tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai dewan adat, akan tetapi perannya tidak signifikan dibandingkan dengan pemerintahan adat yang memiliki berbagai unsur pemerintahan yang dapat melayani kebutuhan masyarakat. Akibatnya, pemerintahan desa di Indonesia termasuk di Tihulale dan Maluku pada umumnya terlihat berwajah ganda yaitu di satu pihak berorientasi kepada pemerintahan nasional dan di pihak lain berorientasi kepada adat. Di Maluku Tengah dan Seram bagian Barat, pada desa-desa tertentu terdapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai produk undang-undang, terdapat pula lembaga saniri sebagai lembaga perwakilan masyarakat adat yang berfungsi mengurus hal-hal yang menyangkut kepentingan adat. Dengan demikian negeri dan desa menjadi satu yang batas-batasnya tidak jelas. Kekaburan ini juga terjadi karena kepala pemerintahan negeri (masyarakat adat) yang seyogianya dipilih dari kelompok masyarakat yang berhak menempati jabatan itu (bangsa raja), dalam realitasnya menjadi kepala pemerintahan desa yang dipilih dari anggota masyarakat yang telah memenuhi syarat sesuai ketentuan undang-undang. Kepala pemerintahan negeri dan kepala desa adalah dua hal yang berbeda. Dualisme pemerintahan ini telah membingungkan masyarakat dan tentunya berdampak terhadap partisipasi anggota masyarakat untuk membangun desanya. Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang memberikan peluang terbentuknya pemerintahan adat sesuai asal usul dalam implementasinya belum dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya.
Pranata lokal yang oleh masyarakat adat telah akrab dengannya karena dibertakukan dari generasi ke generasi dan dipercayai dapat membawa kesejahteraan serta ketentraman, harus tunduk ketika berhadapan dengan pranata nasional yang memiliki kekuatan besar dan dominan. Akibatnya pranata adat yang bersumber kepada adat dan dikendalikan oleh pemerintah negeri (adat) menjadi lemah dan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain pemerintahan adat yang mengalami degradasi terdapat pula kebijakan negara yang mengurangi peran masyarakat adat dalam kepemilikan hak-hak adat mereka. Kepemilikan hak-hak adat ini meliputi hak kepemilikan atas tanah adat, hutan laut dan pesisir. Dalam pandangan masyarakat adat/tradisional, alam dan manusia tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya mengapa masyarakat adat memerlukan pemeliharaan alam dan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat adat dengan kearifan lokalnya mengetahui bahwa alam dan lingkungan harus dimaknai sebagai lumbung yang dapat menyediakan keperluan hidup sehari-hari. Hutan dan alam sekitarnya adalah segala-galaya. Di situ mereka hidup, mati, dan dikuburkan, beribadah, bekerja untuk kehidupan, membuat mitos-mitos, membangun keluarga dan menyusun kekerabatan. Oleh karena itu alam dan lingkungan seyogianya berada dibawah kendali masyarakat adat. Pandangan inilah yang diwariskan oleh nenek moyang. (Bandingkanlah dengan peran Kewang dalam pelestrian lingkungan). Realitas memperlihatkan bahwa seringkali terjadi konflik kepentingan antara negara dan masyarakat adat dan antara masyarakat adat dengan pemangku kepentingan lainnya (Kasus-kasus yang terjadi dalam hubungannya dengan kepemilikan hutan/tanah dimana terjadi konflik antara pengusaha hutan dan masyarakat adat sebagai pemilik hutan/tanah adat).
Berbagai kebijakan telah ditempuh akan tetapi kelihatannya kebijakan yang dibuat belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, perubahan nilai yang terjadi di dalam masyarakat juga telah melemahkan peran pranata adat/ tradisional. Pandangan yang berbeda di antara generasi tua dan muda terhadap nilai tradisional dan modern juga telah menurunkan pandangan generasi muda terhadap adat sebagai budaya lakal. Budaya lokal diangap telah kuno dan tidak memberi harapan bagi masa depan dibandingkan dengan budaya global. Padahal diketahui bahwa budaya global yang menintroduksi nilai-nilai modern sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada fenomena sosial budaya antara lain:
Kerusakan lingkungan fisik sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran. Masyarakat yang semula bergantung dari sumberdaya alam kemudian menjadi miskin akibat eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran.
Hedonisme dan konsumerisme melanda masyarakat. Tejadi kesenjangan mereka yang punya dan tidak punya. Hedonisme dan konsumerisme juga dapat memberikan peluang terjadinya korupsi. Nilai-nilai individual dapat berkembang dan mengeser nilai-nilai kolektivisme. Nilai-nilai individual kemudian berdampak terhadap keterasingan sosial dan individu. Hubungan-hubungon sosial menjadi merenggang.
Kompetisi di satu pihak dapat mendorong terjadinya peningkatan kualitas akan tetapi di lain pihak dapat menghilangkan solidaritas.
Pembangunan ekonomi menjadi tujuan untuk mengejar pertumbuhan berakibat kurang diperhatikannya pembangunan sosial yang kemudian berdampak terhadap menurunnya peran pranata sosial budaya yang menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Reformasi telah membuka babakan baru untuk menata kembali kehidupan masyarakat adat sebagai bahagian integral dari bangsa Indonesia. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah yang memberi peluang kepada terbentuknya pemerintahan desa yang sesuai dengan hak asal usulnya tentu telah melegakan masyarakat adat. Namun bagaimana implementasinya tentu perlu dipertanyakan. Berbagai hak kepemilikan tentu masih terus diperjuangkan oleh berbagai kelompok yang merasa peduli terhadap kepentingan masyarakat adat. Hak-hak yang diperlukan penegasannya antara lain tentang hak ulayat yang terkait dengan eksistensi hidup suatu masyarakat dan sumberdaya alam yang berada pada wilayah masyarakat adat. Walaupun demikian tentu sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan masa yang lampau sebelum terjadinya reformasi. Reformasi tentunya memiliki juga kelemahan karena apabila tidak disikapi secara baik reformasi akan menjadi reformasi kebablasan yang menafikan orang lain untuk memerintah suatu daerah misalnya dalam konsep "putra daerah".
Menata kembali sejumlah pranata yang sudah rusak, paling tidak pranata yang sudah lemah tidak semudah membalik telapak Tangan, karena sangat terkait dengan kelembagaan adat yaitu pemerintah adat atau pemerintah negeri. Kita tentu tidak bisa bicara tentang pela tanpa bicara tentang keterlibatan pemerintah negeri. Berbagai pranata tentu terkait pula dengan ritual yang melandasi implementasi fungsi pranata tersebut yang melibatkan masyarakat adat. Hal yang paling sulit bagi kita juga adalah bagaimana meyakinkan generasi muda tentang pranata lokal tradisional yang terlanjur dikatakan kuno dan tidak membawa harapan bagi masa depan, dan kita juga tidak mudah meyakinkan generasi muda bahwa apabila tidak diimplementasikan pranata adat akan pupus identitas kesukubangsaan, sebagai arang Ambon, orang Kei, orang Buru, orang Tanimbar, orang Selatan Daya dalam ruang lingkup identitas sebagai orang Indonesia.
Kalau dikaji secara mendalam berbagai paranata lokal kita tidak kala bersaing dengan paranata yang ada di darerah lain juga pranata yang dianggap sebagai pranata nasional. Apa bedanya kewang apabila dibandingkan dengan jagawana yang berfungsi untuk menjaga hutan lindung. Fungsi jagawana yang digaji oleh pemerintah hanya terfokus pada hutan lindung akan tetapi kewang jauh lebih besar peranannya, bukan saja menjaga dan melindungi hutan, akan tetapi juga laut, sungai, darat dan pesisir.
Apa pula bedanya maano dengan dengan production sharing, yang terakhir ini dikenal dengan konsep bagi hasil. Maano dalam masyarakat tradisional di Negeri Tihulale dan Maluku Tengah pada umumnya dilakukan dalam persetujuan bagi hasil ketika meramu sagu, memetik cengkih atau kelapa. Selain itu, apa pula bedanya antara konsorsium, sebuah konsep modern dengan badati yang dianggap kuno. Badati adalah sebuah konsep masyarakat tradisional dalam aktifltas memberikan sumbangan dalam hubungan kerjasama untuk tujuan tertentu dan yang terakhir adalah sasi sebagai upaya masyarakat untuk melindungi lingkungannya sebagai sumberdaya yang dapat menghidupi masyarakat pendukungnya. Sasi diartikan sebagai larangan untuk memetik hasil kebun atau laut sebelum masa panen. Dalam hal sasi apa bedanya dengan konsep pembangunan secara berkelanjutan, sustainable development. Tentu banyak lagi pranata-pranata adat yang lain yang merupakan kearifan lokal dapat dibicarakan dalam tulisan ini.
Dalam hubungan itulah maka perlu dikategorikan berbagai lembaga dan pranata adat yang mendukung keberadaan suatu masyarakat adat yaitu pranata yang dapat menggambarkan identitas komunitas, pranata yang mendukung kesejahteraan masyarakat, pranata yang dapat mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan mengembangkan perdamaian dan pranata-pranata lainnya.
Oleh karena itu maka diperlukan reposisi dan penafsiran kembali pranata adat. Reposisi dilakukan melalui kemauan baik pemerintah melalui peraturan daerah yang dibuat secara besama-sama. Penafsiran kembali dimaksudkan agar pranata adat tersebut dapat menembusi tantangan jaman sehingga tidak dianggap sebagai pranata yang sudah usang produk masa lampau.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat adat, kebijakan-kebijakan negara yang sangat memukut kehidupan masyarakat adat adalah penyeragaman sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman ini dengan sendirinya telah mengaburkan identitas komunitas/masyarakat adat termasuk di Negeri Tihulale sendiri. Struktur pemerintahan desa yang diintroduksi melalui penyeragaman sesuai dengan undang-undang tidak lagi memperlihatkan sebuah wajah pemerintahan adat yang oleh masyarakat adat dianggap paling tepat untuk menata masyarakat adat. Lembaga-lembaga asing dalam kacamata masyarakat adat di pedesaan, seperti, dusun, RT/RW dan lainnya harus dibentuk tanpa tawar menawar. Pada beberapa daerah tertentu posisi masyarakat adat dapat diwakili oleh sekelompok tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai dewan adat, akan tetapi perannya tidak signifikan dibandingkan dengan pemerintahan adat yang memiliki berbagai unsur pemerintahan yang dapat melayani kebutuhan masyarakat. Akibatnya, pemerintahan desa di Indonesia termasuk di Tihulale dan Maluku pada umumnya terlihat berwajah ganda yaitu di satu pihak berorientasi kepada pemerintahan nasional dan di pihak lain berorientasi kepada adat. Di Maluku Tengah dan Seram bagian Barat, pada desa-desa tertentu terdapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai produk undang-undang, terdapat pula lembaga saniri sebagai lembaga perwakilan masyarakat adat yang berfungsi mengurus hal-hal yang menyangkut kepentingan adat. Dengan demikian negeri dan desa menjadi satu yang batas-batasnya tidak jelas. Kekaburan ini juga terjadi karena kepala pemerintahan negeri (masyarakat adat) yang seyogianya dipilih dari kelompok masyarakat yang berhak menempati jabatan itu (bangsa raja), dalam realitasnya menjadi kepala pemerintahan desa yang dipilih dari anggota masyarakat yang telah memenuhi syarat sesuai ketentuan undang-undang. Kepala pemerintahan negeri dan kepala desa adalah dua hal yang berbeda. Dualisme pemerintahan ini telah membingungkan masyarakat dan tentunya berdampak terhadap partisipasi anggota masyarakat untuk membangun desanya. Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang memberikan peluang terbentuknya pemerintahan adat sesuai asal usul dalam implementasinya belum dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya.
Pranata lokal yang oleh masyarakat adat telah akrab dengannya karena dibertakukan dari generasi ke generasi dan dipercayai dapat membawa kesejahteraan serta ketentraman, harus tunduk ketika berhadapan dengan pranata nasional yang memiliki kekuatan besar dan dominan. Akibatnya pranata adat yang bersumber kepada adat dan dikendalikan oleh pemerintah negeri (adat) menjadi lemah dan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain pemerintahan adat yang mengalami degradasi terdapat pula kebijakan negara yang mengurangi peran masyarakat adat dalam kepemilikan hak-hak adat mereka. Kepemilikan hak-hak adat ini meliputi hak kepemilikan atas tanah adat, hutan laut dan pesisir. Dalam pandangan masyarakat adat/tradisional, alam dan manusia tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya mengapa masyarakat adat memerlukan pemeliharaan alam dan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat adat dengan kearifan lokalnya mengetahui bahwa alam dan lingkungan harus dimaknai sebagai lumbung yang dapat menyediakan keperluan hidup sehari-hari. Hutan dan alam sekitarnya adalah segala-galaya. Di situ mereka hidup, mati, dan dikuburkan, beribadah, bekerja untuk kehidupan, membuat mitos-mitos, membangun keluarga dan menyusun kekerabatan. Oleh karena itu alam dan lingkungan seyogianya berada dibawah kendali masyarakat adat. Pandangan inilah yang diwariskan oleh nenek moyang. (Bandingkanlah dengan peran Kewang dalam pelestrian lingkungan). Realitas memperlihatkan bahwa seringkali terjadi konflik kepentingan antara negara dan masyarakat adat dan antara masyarakat adat dengan pemangku kepentingan lainnya (Kasus-kasus yang terjadi dalam hubungannya dengan kepemilikan hutan/tanah dimana terjadi konflik antara pengusaha hutan dan masyarakat adat sebagai pemilik hutan/tanah adat).
Berbagai kebijakan telah ditempuh akan tetapi kelihatannya kebijakan yang dibuat belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, perubahan nilai yang terjadi di dalam masyarakat juga telah melemahkan peran pranata adat/ tradisional. Pandangan yang berbeda di antara generasi tua dan muda terhadap nilai tradisional dan modern juga telah menurunkan pandangan generasi muda terhadap adat sebagai budaya lakal. Budaya lokal diangap telah kuno dan tidak memberi harapan bagi masa depan dibandingkan dengan budaya global. Padahal diketahui bahwa budaya global yang menintroduksi nilai-nilai modern sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada fenomena sosial budaya antara lain:
Kerusakan lingkungan fisik sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran. Masyarakat yang semula bergantung dari sumberdaya alam kemudian menjadi miskin akibat eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran.
Hedonisme dan konsumerisme melanda masyarakat. Tejadi kesenjangan mereka yang punya dan tidak punya. Hedonisme dan konsumerisme juga dapat memberikan peluang terjadinya korupsi. Nilai-nilai individual dapat berkembang dan mengeser nilai-nilai kolektivisme. Nilai-nilai individual kemudian berdampak terhadap keterasingan sosial dan individu. Hubungan-hubungon sosial menjadi merenggang.
Kompetisi di satu pihak dapat mendorong terjadinya peningkatan kualitas akan tetapi di lain pihak dapat menghilangkan solidaritas.
Pembangunan ekonomi menjadi tujuan untuk mengejar pertumbuhan berakibat kurang diperhatikannya pembangunan sosial yang kemudian berdampak terhadap menurunnya peran pranata sosial budaya yang menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Reformasi telah membuka babakan baru untuk menata kembali kehidupan masyarakat adat sebagai bahagian integral dari bangsa Indonesia. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah yang memberi peluang kepada terbentuknya pemerintahan desa yang sesuai dengan hak asal usulnya tentu telah melegakan masyarakat adat. Namun bagaimana implementasinya tentu perlu dipertanyakan. Berbagai hak kepemilikan tentu masih terus diperjuangkan oleh berbagai kelompok yang merasa peduli terhadap kepentingan masyarakat adat. Hak-hak yang diperlukan penegasannya antara lain tentang hak ulayat yang terkait dengan eksistensi hidup suatu masyarakat dan sumberdaya alam yang berada pada wilayah masyarakat adat. Walaupun demikian tentu sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan masa yang lampau sebelum terjadinya reformasi. Reformasi tentunya memiliki juga kelemahan karena apabila tidak disikapi secara baik reformasi akan menjadi reformasi kebablasan yang menafikan orang lain untuk memerintah suatu daerah misalnya dalam konsep "putra daerah".
Menata kembali sejumlah pranata yang sudah rusak, paling tidak pranata yang sudah lemah tidak semudah membalik telapak Tangan, karena sangat terkait dengan kelembagaan adat yaitu pemerintah adat atau pemerintah negeri. Kita tentu tidak bisa bicara tentang pela tanpa bicara tentang keterlibatan pemerintah negeri. Berbagai pranata tentu terkait pula dengan ritual yang melandasi implementasi fungsi pranata tersebut yang melibatkan masyarakat adat. Hal yang paling sulit bagi kita juga adalah bagaimana meyakinkan generasi muda tentang pranata lokal tradisional yang terlanjur dikatakan kuno dan tidak membawa harapan bagi masa depan, dan kita juga tidak mudah meyakinkan generasi muda bahwa apabila tidak diimplementasikan pranata adat akan pupus identitas kesukubangsaan, sebagai arang Ambon, orang Kei, orang Buru, orang Tanimbar, orang Selatan Daya dalam ruang lingkup identitas sebagai orang Indonesia.
Kalau dikaji secara mendalam berbagai paranata lokal kita tidak kala bersaing dengan paranata yang ada di darerah lain juga pranata yang dianggap sebagai pranata nasional. Apa bedanya kewang apabila dibandingkan dengan jagawana yang berfungsi untuk menjaga hutan lindung. Fungsi jagawana yang digaji oleh pemerintah hanya terfokus pada hutan lindung akan tetapi kewang jauh lebih besar peranannya, bukan saja menjaga dan melindungi hutan, akan tetapi juga laut, sungai, darat dan pesisir.
Apa pula bedanya maano dengan dengan production sharing, yang terakhir ini dikenal dengan konsep bagi hasil. Maano dalam masyarakat tradisional di Negeri Tihulale dan Maluku Tengah pada umumnya dilakukan dalam persetujuan bagi hasil ketika meramu sagu, memetik cengkih atau kelapa. Selain itu, apa pula bedanya antara konsorsium, sebuah konsep modern dengan badati yang dianggap kuno. Badati adalah sebuah konsep masyarakat tradisional dalam aktifltas memberikan sumbangan dalam hubungan kerjasama untuk tujuan tertentu dan yang terakhir adalah sasi sebagai upaya masyarakat untuk melindungi lingkungannya sebagai sumberdaya yang dapat menghidupi masyarakat pendukungnya. Sasi diartikan sebagai larangan untuk memetik hasil kebun atau laut sebelum masa panen. Dalam hal sasi apa bedanya dengan konsep pembangunan secara berkelanjutan, sustainable development. Tentu banyak lagi pranata-pranata adat yang lain yang merupakan kearifan lokal dapat dibicarakan dalam tulisan ini.
Dalam hubungan itulah maka perlu dikategorikan berbagai lembaga dan pranata adat yang mendukung keberadaan suatu masyarakat adat yaitu pranata yang dapat menggambarkan identitas komunitas, pranata yang mendukung kesejahteraan masyarakat, pranata yang dapat mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan mengembangkan perdamaian dan pranata-pranata lainnya.
Oleh karena itu maka diperlukan reposisi dan penafsiran kembali pranata adat. Reposisi dilakukan melalui kemauan baik pemerintah melalui peraturan daerah yang dibuat secara besama-sama. Penafsiran kembali dimaksudkan agar pranata adat tersebut dapat menembusi tantangan jaman sehingga tidak dianggap sebagai pranata yang sudah usang produk masa lampau.
pranata adat di negeri Tihulale yang telah terpengaru pranata-pranata lainnya antaralain :
1.
Adat Sasi
Adat sasi di lakukan untuk menjaga dan dan
melestarikan alam dan hasilnya. Prosesi adat biasanya di lakukan untuk peryode
bulan tertentu dan akan di buka saat tanaman atau hasil alam tersebut layak
untuk di ambil hasilnya. Dulu sasi
biasanya di lakukan dengan ritual-ritual tertentu dan setiap tempat yang di
sasi di berikan tanda dengan ikat kain mereh, dan selalu di kontrol oleh Kewang
(polisi adat negeri). Setiap pelanggaran hukum adat sasi ini di berikan sangsi
berupa pembayaran denda kepada negeri ataupun mengelilingi negeri dan berteriak
untuk menyampaikan kepada warga agartidak meniru perbuatan tersebut. Jenis sasi yang di berlakukan di Negeri Tihulale
sendiri terdiri
dari sasi darat dan laut serta sasi Negeri dan Petuanan.
seiring
perkembangannya sasi ini kemudian masuk dalam Gereja, dan tidak lagi
berdasarkan bulan-bulan tertentu tetapi berdasrkan permintaan indipidu
masyarakat yang ingin hasil tanamannya di sasi serta di berikan tanda plang
sasi dan tidak ada yang mengawalnya dan tidak ada penerapan sangsi untuk
pelanggaran yang di lakukan.. Kewangpun tidak lagi dipungsikan sebagaimana
mestinya.
2. Adat Perkawinan
Sama seperti Negeri-Negeri lain di Maluku,
Negeri Tihulale tidak mengenal perkawinan sesama marga. Bahkan tidak bisa sling
mengawini antara marga karena wari-waa ataupun ada hubunga ikatan persaudaraan .
Selain itu juga tidak memperkenankan perkawinan berbeda agama,
meskipun Masyarakat Negeri Tihulale itu sendiri memiliki kekerabatan dengan
umat yang lain (Islam) sangatlah rukun satu dengan yang lainnya. Dalam adat
perkewinan di Negeri Tihulale di kenal tiga 3 (tiga) perkawinan yaitu:
1. Kawin Minta yaitu perkawinan dengan mengikuti semua prosesi sebagimana layaknya perkawinan,
Perkawinan seperti ini sama seperti pada perkawinan
dari adat Batak, yang dimana harus membayarkan sebuah mahar kepada pengantin
wanita. Tetapi bagi warga Maluku perkawinan seperti ini jarang diminati karena
diharuskan memiliki biaya yang besar untuk maharnya. Namun terkadang poses pembayaran mayar ini
bisa juga di tunda bahkan seringkali ketika tidak mampu membayar maka salah
satu anaknya harus mengikuti marga sang istri dengan istila arken.
2. Kawin Lari yaitu perkawinan yang di lakukan dengan cara
membawah lari wanita dan menikah tanpa di restui orang tua, Perkawinan jenis ini memang banyak dihindari dan sangat tidak diinginkan
karena memang dipandang kurang baik. Tetapi bagi para pemuda di Maluku
perkawinan ini sangatlah wajar bagi mereka yang menghidari kekecewaan
dikarenakan mereka ditolak atau mengindari malu karena perkawinannya ditolak
oleh keluarga dari sang wanita. Biasanya
setelah semuanya membaik pengantin ini meminta pengampunan dari orang tuanya
dan biasanya di lakukan pada saat momen-momen tertentu seperti natal dan tahun
baru.
3. Kawin Manua yaitu
perkawinan dimana-mana setelah pernikahan, pasangan wanitanya
harus tinggal dengan keluarga pengantin pria. Tetapi pada sistem kawin ini
justru sebaliknya, pengantin prialah yang harus tinggal dengan keluarga
pengantin si wanita setelah mereka menikah
Setiap
mempelai Pria harus dapat melakukan adat masuk mata rumah, selama belum
melakukan adat ini maka simempelai wanita belum sah masuk dalam matarumah pria..